Upaya adu domba terhadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Prabowo Subianto merupakan fenomena strategis yang tidak bisa dianggap remeh.
Ia mencerminkan manuver politik yang sistematis untuk mengganggu soliditas kepemimpinan nasional, melemahkan institusi Polri, dan menciptakan persepsi konflik internal di puncak kekuasaan negara.
Pola yang digunakan cukup konsisten: isu-isu penting mengenai reformasi Polri dipelintir sedemikian rupa sehingga tampak sebagai persaingan pribadi, konflik internal, atau bahkan upaya menjatuhkan Kapolri.
Reformasi Polri, yang sejatinya merupakan program penting untuk memperkuat profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas, dibelokkan menjadi isu kontroversial yang menyudutkan Kapolri dan menimbulkan kesan bahwa Presiden kehilangan kendali atas institusi strategisnya sendiri.
Salah satu isu yang digulirkan adalah bahwa reformasi Polri adalah untuk mengganti Kapolri. Isu ini kemudian berkembang seolah-olah Presiden telah mengirimkan nama calon Kapolri ke DPR.
Faktanya, mekanisme hukum dan konstitusi jelas menegaskan bahwa penunjukan calon Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden dengan persetujuan DPR. Kedua pemegang otoritas tersebut telah menegaskan bahwa reformasi Polri bukan untuk mengganti Kapolri dan belum ada nama calon yang dikirim.
Dengan demikian, tuduhan ini hanyalah manipulasi informasi yang sengaja dibangun untuk memunculkan kesan konflik internal antara Presiden dan Kapolri.
Narasi ini diperkuat dengan isu terkait Tim Transformasi Reformasi yang dibentuk Kapolri, yang digambarkan sebagai instrumen untuk menandingi Komite Reformasi Polri bentukan Presiden.
Padahal, kedua entitas ini memiliki fungsi berbeda: Tim Transformasi Reformasi berfokus pada penataan internal Polri, peningkatan kualitas SDM, dan tata kelola organisasi. Sementara Komite Reformasi Polri bentukan Presiden berfungsi sebagai pengarah dan pengawas dari perspektif nasional. Istana dan DPR lagi-lagi justru mengapresiasi tim bentukan Kapolri dalam rangka mempercepat reformasi Polri.
Fakta ini menegaskan bahwa tuduhan adanya persaingan adalah narasi rekayasa tanpa dasar nyata.
Ketika isu awal terbantahkan oleh klarifikasi resmi dari istana dan DPR, pihak yang tidak puas beralih pada tuduhan baru: Kapolri disebut-sebut menjegal calon Kapolri pilihan Presiden. Tuduhan ini sangat berbahaya karena mencoba menanamkan persepsi bahwa Kapolri dan Presiden berada pada jalur yang bertentangan.
Padahal, secara mekanisme hukum dan tata kelola, penentuan calon Kapolri sepenuhnya berada di bawah hak prerogatif Presiden dengan persetujuan DPR. Tuduhan ini tidak hanya melemahkan legitimasi Kapolri dan Presiden, tetapi juga merusak moral internal Polri, mengganggu fokus reformasi, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi.
Dampak percobaan adu domba ini bersifat multidimensional. Bagi Polri, isu semacam ini menimbulkan kebingungan tentang arah reformasi, melemahkan moral internal, dan mengganggu kohesi organisasi. Aparat yang seharusnya fokus pada peningkatan kualitas pelayanan publik, penegakan hukum dan menjaga keamanan masyarakat harus menghadapi spekulasi politik yang menguras energi dan merusak profesionalisme.
Bagi kepemimpinan Presiden Prabowo, isu ini dirancang untuk menimbulkan kesan ketidakmampuan dalam mengendalikan institusi strategis, sehingga kredibilitas dan kewibawaannya sebagai kepala negara tergerus.
Di tingkat nasional, percobaan adu domba ini menjadi ancaman nyata bagi stabilitas politik dan keamanan, karena hubungan harmonis antara Presiden dan Kapolri merupakan salah satu pilar fundamental dalam menjaga ketertiban negara dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Secara historis, hubungan Presiden dengan Kapolri di Indonesia selalu menjadi indikator stabilitas nasional. Konflik atau persepsi ketidakselarasan di pucuk kepemimpinan Polri dapat memicu ketidakpastian hukum, polarisasi politik, dan bahkan kegaduhan sosial.
Polri bukan hanya institusi penegak hukum. Ia adalah cerminan negara yang menegakkan hukum dengan adil dan konsisten. Jika moral dan kohesi internal Polri terganggu akibat percobaan adu domba, dampaknya akan meluas, mempengaruhi kepercayaan masyarakat, pelaku ekonomi, dan bahkan posisi Indonesia di mata komunitas internasional.
Dalam jangka menengah dan panjang, percobaan adu domba semacam ini juga dapat membentuk persepsi publik yang salah tentang profesionalisme Polri dan kredibilitas Presiden. Jika narasi rekayasa tidak dilawan, publik bisa menilai Kapolri dan Presiden tidak sinkron, sementara reformasi yang sedang berjalan dianggap gagal.
Hal ini akan menimbulkan tekanan politik tambahan, memperlemah legitimasi negara, dan membuka celah bagi pihak-pihak yang ingin mengintervensi melalui propaganda dan manipulasi media.
Oleh karena itu, literasi politik dan kewaspadaan publik menjadi sangat penting. Masyarakat harus mampu menilai fakta dan memisahkannya dari narasi provokatif. Transparansi komunikasi dari istana dan Polri, klarifikasi yang cepat dan akurat, serta pemahaman mekanisme konstitusional merupakan senjata utama untuk menahan dampak percobaan adu domba ini.
Kepemimpinan Presiden Prabowo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit sejatinya merupakan kemitraan strategis. Keberhasilan kemitraan ini tidak hanya berdampak pada institusi Polri, tetapi juga pada stabilitas nasional, keamanan publik, dan persepsi internasional terhadap tata kelola hukum dan keamanan di Indonesia.
Percobaan adu domba ini adalah ujian bagi ketahanan institusi negara, kewaspadaan publik, dan kualitas kepemimpinan nasional. Fondasi negara yang kokoh tidak hanya ditentukan oleh kebijakan besar, tetapi juga oleh kemampuan masyarakat dan elite untuk menolak provokasi, menjaga integritas kepemimpinan nasional, dan memastikan bahwa narasi rekayasa tidak merusak kepercayaan publik.
Stabilitas nasional, profesionalisme Polri, dan kewibawaan Presiden hanya akan terjaga jika fakta menyingkirkan spekulasi, mekanisme hukum dihormati sepenuhnya, dan masyarakat mampu melihat pola manipulasi informasi yang mencoba merusak fondasi negara.
*Jakarta, 26 September 2025*
*R. Haidar Alwi*
* Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)*