Mantan Bupati Hasan Aminuddin Kecam Paslon Tunggal di Pilkada Probolinggo, Aktivis LSM LIRA Desak Klarifikasi Statusnya di Partai Nasdem

**PROBOLINGGO** – Pernyataan mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin, mengenai dinamika politik Pilkada di Kabupaten Probolinggo membuat heboh media online. Pada 21 Juni 2024, Hasan Aminuddin mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap adanya pasangan calon (paslon) tunggal dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Probolinggo.

Pernyataan ini disampaikan Hasan usai menghadiri sidang kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan gratifikasi yang menjeratnya di Pengadilan Tipikor Surabaya pada Kamis, 20 Juni 2024. Dalam video yang viral di media sosial, Hasan menegaskan bahwa paslon tunggal merupakan kemunduran bagi demokrasi.

Di sisi lain, beberapa media online melaporkan bahwa DPP NasDem menyerahkan keputusan mengenai calon Bupati dan Wakil Bupati sepenuhnya kepada Hasan Aminuddin. Menanggapi hal ini, aktivis muda Kabupaten Probolinggo, Nofal Yulianto, dan Tim Investigasi, menyatakan bahwa Hasan seharusnya lebih fokus pada kasus hukum yang dihadapinya.

Nofal menegaskan, “Seharusnya Hasan Aminuddin, yang saat ini terdakwa sekaligus narapidana koruptor, lebih fokus menghadapi kasusnya agar putusannya lebih ringan dan tidak lebih lama di balik jeruji besi. Ini baru pertama kali di Indonesia, seorang narapidana koruptor masih ikut campur dalam politik Pilkada.”

Nofal juga mendesak DPP Partai NasDem untuk memberikan klarifikasi terkait status Hasan Aminuddin sebagai kader partai pasca penangkapannya oleh KPK. Menurut Nofal, pernyataan Hasan bahwa dirinya masih menjabat sebagai Ketua DPP Partai NasDem dan memiliki wewenang merekomendasikan calon Bupati dan Wakil Bupati menimbulkan keprihatinan publik.

“Saya pribadi sangat terkejut, seorang narapidana koruptor yang sedang menjalani hukuman penjara masih diberi jabatan strategis di partai politik dan bisa merekomendasikan calon kepala daerah dari balik penjara. Jika benar, ini menunjukkan sikap permisif partai politik terhadap korupsi,” tegas Nofal.

Nofal menambahkan, pemberian jabatan dalam struktur partai politik kepada mantan terpidana korupsi sangat bertentangan dengan semangat untuk membangun pemerintahan yang bebas dari korupsi dan meningkatkan kualitas demokrasi. Ia juga menekankan pentingnya partai politik untuk memanfaatkan momentum Pilkada 2024 guna menunjukkan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi dengan menghadirkan kader-kader berintegritas dan profesional.

“Partai politik seharusnya memanfaatkan Pilkada 2024 untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi dengan menghadirkan kader-kader yang memiliki rekam jejak baik dan bebas dari keterlibatan kasus korupsi,” pungkas Nofal.

Berita ini mencerminkan pentingnya transparansi dan integritas dalam politik serta tanggung jawab partai politik dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.

(Red/Tim/**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *