Opini  

Reformasi Polri: Jalan Mengatasi Dwifungsi Polri

Reformasi Polri: Jalan Mengatasi Dwifungsi Polri

Reformasi 1998 bukan hanya peristiwa politik, melainkan koreksi konstitusional yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa negara demokratis tidak boleh menyerahkan ruang politik sipil kepada institusi bersenjata.

Dari kesadaran itulah lahir pemisahan Polri dari militer pada 1 April 1999, sehingga Polri ditegaskan sebagai institusi sipil yang berfokus pada pemeliharaan keamanan, ketertiban, dan perlindungan masyarakat melalui penegakan hukum.

Namun, dua dekade lebih berselang, muncul persoalan serius: Polri mengarah pada dwifungsi.

Ambiguitas Eksekutif–Yudikatif

Secara struktural, Polri ditempatkan di bawah Presiden melalui UU No. 2 Tahun 2002. Posisi ini dipahami sebagai Polri masuk dalam cabang eksekutif. Akan tetapi, secara substantif Polri adalah bagian dari criminal justice system, yang hakikatnya merupakan domain yudikatif. Polri melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penegakan hukum atau Aparat Penegak Hukum (APH).

Ambiguitas ini menghasilkan fungsi ganda: Polri hadir sebagai lembaga eksekutif sekaligus menjalankan peran yudikatif. Bahkan lebih jauh, banyak perwira Polri aktif kini menduduki jabatan birokrasi di kementerian, lembaga negara, hingga menjadi penjabat (Plt) gubernur dan bupati.

Dwifungsi di Era Jokowi dan Tito

Fenomena ini menonjol di era Presiden Joko Widodo, ketika banyak perwira Polri ditempatkan pada jabatan strategis di lembaga-lembaga sipil maupun pemerintahan non penegakan hukum. Polri tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga masuk ke dalam birokrasi sipil di luar fungsi kepolisian.

Kini, di era Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dwifungsi itu semakin diperluas. Penempatan perwira Polri aktif sebagai penjabat gubernur dan bupati menjadi bukti bahwa Polri tidak lagi sekadar aparat penegak hukum, melainkan juga instrumen administratif politik pemerintahan. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa Polri tengah berubah menjadi kekuatan superpower dengan ruang lingkup peran yang semakin luas.

Landasan Konstitusional

Konstitusi Indonesia menuntut pemisahan kekuasaan yang jelas. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Artinya, semua bentuk kekuasaan harus tunduk pada prinsip rule of law, bukan rule by force.

Selain itu, TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan pemisahan TNI dan Polri serta pembagian fungsi yang jelas:

TNI bertugas di bidang pertahanan

Polri bertugas di bidang keamanan, ketertiban, dan perlindungan masyarakat melalui penegakan hukum

Dengan demikian, Polri sesungguhnya sudah dipisahkan secara konstitusional dari ranah politik praktis maupun dominasi militer. Reformasi Polri hari ini bukan lagi dimaksudkan sebagai reformasi dari militer, melainkan reformasi dari kecenderungan birokratis dan peran eksekutifnya yang melemahkan independensi penegakan hukum, dan melahirkan peran kekuasaan Polri di tubuh eksekutif.

Ancaman terhadap Prinsip Konstitusional

Jika Polri dibiarkan berfungsi ganda, maka terjadi kerusakan struktural dalam ketatanegaraan. Polri berpotensi menjadi lembaga superpower: menguasai fungsi pemerintahan eksekutif sekaligus yudikatif. Hal ini tidak hanya merusak prinsip checks and balances, tetapi juga mengingkari esensi supremasi sipil yang menjadi roh reformasi 1998.

Konstruksi Baru: Polri di Eksekutif atau Yudikatif

Dalam desain ketatanegaraan, kedudukan Polri harus ditegaskan secara konsisten. Ada dua pilihan konstruktif:

1. Jika Polri ditempatkan dalam ranah yudikatif, maka posisinya jelas sebagai bagian dari criminal justice system. Polri menjadi mitra kejaksaan dan pengadilan, fokus pada penegakan hukum. Ini adalah pilihan ideal sesuai prinsip negara hukum.

2. Jika Polri berada dalam ranah eksekutif, maka Polri ditempatkan di bawah Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dengan begitu, Polri tetap menjadi bagian dari pemerintahan sipil, namun berfungsi dalam penegakan hukum yang dijalankan secara profesional dengan mekanisme pengawasan ketat.

Reformasi Polri Tahap Kedua: Tugas Presiden Prabowo

Di sinilah pentingnya peran Presiden Prabowo Subianto. Penataan kembali Polri bukan penataan dengan menyandingkan reformasi Polri dengan reformasi TNI, karena keduanya berbeda konteks. Reformasi TNI sudah berjalan dengan agenda supremasi sipil di bidang pertahanan, sedangkan reformasi Polri kini berdiri sendiri, menghadapi tantangan dwifungsi yang muncul dari dalam tubuh birokrasi sipil.

Fenomena dwifungsi Polri ini sebelumnya juga menjadi perhatian publik. Beberapa media nasional, termasuk Tempo dan Tirto, serta organisasi masyarakat sipil seperti PWNU dan KontraS, menyoroti risiko penempatan perwira Polri aktif pada jabatan birokrasi dan pemerintahan, yang berpotensi mengaburkan batas fungsi penegakan hukum dan eksekutif. Temuan-temuan ini memperkuat urgensi reformasi Polri tahap kedua untuk menegaskan kembali marwah Polri sebagai aparat penegak hukum yang profesional, independen, dan tunduk pada konstitusi.

Kami berharap Presiden Prabowo bersikap tegas dan mengambil jalan konstitusional. Ini bukan semata persoalan teknis kelembagaan, melainkan soal penyelamatan sistem ketatanegaraan. Jika dwifungsi Polri terus dipertahankan, maka cita-cita reformasi 1998 akan kehilangan makna, dan negara hukum berpotensi digantikan dengan negara yang dikuasai oleh aparat dengan kewenangan ganda.

Oleh karena itu, reformasi Polri tahap kedua harus segera dijalankan di era kepemimpinan Presiden Prabowo. Ini adalah momentum untuk mengembalikan Polri pada marwahnya: sebagai aparat penegak hukum yang profesional, independen, dan tunduk pada Konstitusi.

Jakarta, 25 September 2025

*Hasanuddin*

IRC for Reform
LBH Pajajaran
SIAGA 98

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *