Mengenal Sejarah Tari Kiprah Glipang, Simbol Perlawanan dan Kebanggaan Budaya Probolinggo

Mengenal Sejarah Tari Kiprah Glipang, Simbol Perlawanan dan Kebanggaan Budaya Probolinggo
oplus_2

 

Sibernkri, Probolinggo//Kabupaten Probolinggo memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai, salah satunya adalah Tari Kiprah Glipang. Tarian yang kini telah resmi mendapatkan pengakuan negara ini menyimpan kisah heroik tentang perlawanan terhadap penjajah dan dedikasi seorang maestro, Bapak Sueparmo, dari Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar.

 

Berdasarkan penuturan putri sulung sang maestro, Ibu Suryaningsih (58), sejarah Glipang bermula dari masa penjajahan Belanda. Ayah dari Bapak Sueparmo, yakni Mbah Satruno, seorang perantau asal Madura, merasa geram melihat perlakuan pilih kasih Belanda terhadap penduduk pribumi.

 

Tanpa senjata api, Mbah Satruno melakukan perlawanan melalui seni bela diri pencak silat dan tarian Saman yang ditampilkan dari rumah ke rumah. Perlawanan kultural ini kemudian dikembangkan oleh Bapak Sueparmo menjadi tari “Gholiban” yang berarti kebiasaan masyarakat, yang seiring waktu diserap oleh lidah masyarakat Madura menjadi “Glipang”.

 

Tari Glipang bukan sekadar gerak, melainkan representasi kehidupan sosial dan militer yang terbagi menjadi tiga jenis:

 

1. Papakan Glipang, Simbol pertemuan muda-mudi yang menari bersama.

 

2. Baris Glipang, Tarian khusus untuk pemuda laki-laki.

 

3. Tari Kiprah Glipang, Tarian prajurit khusus laki-laki. Keunikannya, jika penari perempuan membawakannya, mereka wajib dirias menyerupai laki-laki lengkap dengan godek (cambang) dan kumis untuk menonjolkan kesan gagah perkasa seorang prajurit.

 

Nama Tari Glipang mulai harum di kancah nasional setelah menjuarai lomba di Desa Genteng Kali, Surabaya, serta meraih juara pertama di tingkat kabupaten. Puncaknya, pada tahun 1984, Bapak Sueparmo diundang ke Istana Negara pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, di mana tari ini berhasil masuk dalam nominasi 10 besar tarian terbaik. Sejak saat itu, Glipang mulai diperkenalkan secara luas melalui instansi pemerintahan dan kurikulum sekolah.

 

Meski Sueparmo telah berpulang diusia 84 tahun, pada 23 November 2023, warisan budayanya kini telah terlindungi secara hukum. Negara hadir memberikan pengakuan melalui Surat Pencatatan Ciptaan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan nomor EC002023116557.

 

Pencatatan ini dilakukan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, mencakup perlindungan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Langkah ini memastikan bahwa identitas kultural warga RT 03 RW 01 Desa Pendil ini akan tetap lestari bagi generasi mendatang. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *