Sorong, PBD (03/12/25) – Direktur Institut USBA, Charles Adrian Michael Imbir, memberikan pernyataan tegas saat ditemui awak media di Sorong. Ia menyebut rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 sebagai peringatan keras bagi Papua agar tidak mengikuti jejak kerusakan ekologis yang sama.
Menurutnya, bencana yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem, melainkan buah dari kerusakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat ekspansi tambang, perkebunan skala besar, HTI, dan proyek infrastruktur yang memotong lereng tanpa perhitungan risiko.
Analisis Institut USBA merujuk pada serangkaian laporan investigatif strategi seperti:
– “Bencana Sumatera 2025: Banjir, Longsor, dan Kegagalan Sistem Eksplorasi Kebijakan serta Manajemen Risiko”
– “Jejak Banjir Sumatera 2025: Ketika Hutan Pergi, Air Datang”
– “Menyelamatkan Hulu Sumatera: Jalan Keluar dari Siklus Banjir 2025”
– “Peta Perusahaan di Balik Krisis Banjir Sumatera 2025: Siapa Menguasai Hulu Sungai”.
Laporan-laporan tersebut menemukan pola bencana yang serupa: hujan hanya beberapa jam namun menimbulkan banjir bandang, lumpur pekat, dan kayu gelondongan dari hulu—indikasi kuat adanya pembukaan hutan di zona terlarang.
– Banjir dan longsor banyak terjadi di sekitar konsesi tambang mineral dan batubara, khususnya di Aceh Selatan dan Nagan Raya. Bukaan tebing dan jalan tambang mempercepat longsoran dan aliran sedimen yang menghantam permukiman.
– Di Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Padang Lawas, banjir besar terkait erat dengan ekspansi tambang emas, batubara, dan HTI. Erosi masif dan pendangkalan sungai membuat air meluap cepat tanpa penyangga alami.
– Banjir bandang membawa balok-balok kayu besar dari bukit—tanda pembalakan aktif di hulu kawasan rawan longsor. Sungai berubah menjadi arus lumpur raksasa yang menyapu rumah dan lahan warga.
Seorang warga Pasaman Barat bahkan menggambarkan bencana itu dengan kalimat:
“Yang turun bukan lagi air, yang turun adalah gunung.”
Dari hasil laporan investigatif menunjukkan tumpang-tindih izin konsesi di hulu sungai Aceh–Sumut–Sumbar.
– Di Aceh: PT Lhoong Setia Mining, PT Aceh Baro Coal, PT Beutong Mining Indonesia—beroperasi dalam zona merah kerawanan.
– Di Sumut: tambang emas, HTI besar termasuk PT Toba Pulp Lestari yang mengubah lanskap secara massif.
– Di Sumbar: ekspansi sawit dan operasi HPH menghilangkan penyangga alami lereng.
Hasilnya: hulu DAS runtuh, sungai kehilangan kapasitas, dan banjir bandang tak terhindarkan.
Direktur USBA menegaskan, pola yang sama mulai terlihat di Papua:
– Ekspansi tambang mineral dan energi,
– Perluasan perkebunan monokultur,
– Pembangunan jalan industri yang memotong lereng curam,
– Meningkatnya pembukaan hutan dan wilayah adat.
Dengan curah hujan tinggi, topografi pegunungan ekstrem, dan ekosistem adat yang rapuh, Papua menurut USBA akan merasakan dampak yang lebih menghancurkan bila kerusakan hulu DAS dibiarkan terjadi seperti di Sumatera.
Beberapa data dan investigasi internasional menunjukkan ancaman serius:
– Ekspansi Tambang Nikel Raja Ampat (Greenpeace)
Investigasi Greenpeace mengungkap rencana tambang nikel di wilayah karst dan pesisir sensitif Raja Ampat—disebut sebagai “Last Paradise”. Risiko kerusakan ekologinya sangat besar bagi ekosistem laut dan daratan.
– Data Kehilangan Hutan Papua (Global Forest Watch)
GFW mencatat Papua kehilangan 490 ribu hektare hutan primer basah sejak 2002–2024.
Jika pembukaan terus terjadi, risiko erosi dan banjir meningkat tajam.
– Peta Konsesi Papua (Forest Watch Indonesia)
FWI menunjukkan tumpang-tindih HTI, HPH, tambang, dan perkebunan di banyak kawasan hulu DAS. Polanya sangat mirip dengan Sumatera sebelum bencana 2025.
– Kasus izin bermasalah dan pengawasan lemah
Contoh nasional menunjukkan lemahnya penegakan izin, yang juga berpotensi terulang di Papua jika audit dan evaluasi tidak diperketat.
USBA menilai BP3OKP sebagai lembaga kunci untuk menjamin pembangunan Otsus berjalan dengan prinsip keselamatan ekologis. Dengan kewenangannya, BP3OKP diminta:
– Hentikan izin baru dan aktivitas industri di zona risiko hingga audit lanskap selesai.
– Hitung “beban banjir” tiap konsesi—tambang, HTI, HPH, perkebunan, dan jalan industri.
– Gunakan data GFW & FWI dalam revisi tata ruang dan penetapan zona perlindungan.
– Pastikan FPIC dijalankan dan masyarakat adat menjadi pengawas lapangan.
– Tampilkan peta konsesi, pelanggaran, AMDAL/UKL-UPL secara terbuka untuk menghindari tumpang-tindih izin seperti di Sumatera.
Rekomendasi Operasional USBA untuk Langkah Cepat yaitu :
– Pemetaan “hotspot” konsesi berisiko tinggi di seluruh Papua.
– Moratorium lanskap di hulu DAS prioritas.
– Audit ekologi dan kewajiban pemulihan korporasi.
– Portal publik izin konsesi dan laporan pelanggaran.
– Restorasi hulu berbasis spesies lokal dan penutupan jalan logging/tambang tak terpakai.
“Banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan terjadi karena hujan, tetapi karena tata kelola ruang yang mengabaikan keselamatan ekologis. Papua tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Saat Sumatera sedang memulihkan hulu DAS yang rusak, Papua masih punya kesempatan untuk mencegah krisis ekologis sebelum semuanya terlambat.”
(TK)
