Opini  

Gibran Sudah Bekerja, Mereka Masih Bermimpi Buruk

Gibran Sudah Bekerja, Mereka Masih Bermimpi Buruk

Oleh: Arvindo Noviar


‎Ada spesies aneh dalam politik kita: mereka yang hanya percaya demokrasi jika mereka menang. Begitu kalah, langsung teriak curang. Begitu tersingkir, tafsir konstitusi dipelintir demi ambisi. Hari ini, sasaran mereka adalah Gibran Rakabuming Raka—sah secara hukum, sah secara politik, tapi dianggap haram oleh kaum elite yang percaya kekuasaan hanya boleh diwariskan di lingkar mereka sendiri.

‎Saya tak bicara dari sumber fantasi. Saya adalah Ketua Umum Relawan yang sesekali mengawal Gibran keliling kampanye—dari kampung ke kota, dari terik ke hujan, dari makian ke sambutan hangat. Ia tak datang membawa nama besar saja, ia membawa kerja. Ia tak menunggu disodorkan, ia menjemput mandat dengan kerja keras. Dan yang paling menyakitkan bagi para penggugat ini adalah: ia menang. Diusung oleh Prabowo sendiri, dipilih langsung sebagai pendamping, bukan karena kekerabatan semata, melainkan karena keyakinan politik.

‎Ingat baik-baik: Gibran adalah pilihan pribadi Prabowo. Ya, Prabowo—sosok yang kenyang pengalaman, matang dalam geopolitik, dan tahu betul siapa yang layak menjadi tandemnya di medan tempur kenegaraan. Tapi Prabowo tak berjalan sendiri. Ia bukan raja dalam kerajaan. Ia berdiskusi, berembuk, mendengarkan suara para ketua umum partai politik dari Koalisi Indonesia Maju. Dan mereka menyepakati satu nama: Gibran Rakabuming Raka.

‎Apakah itu keputusan sepihak? Jelas tidak. Apakah itu akal-akalan? Juga tidak. Prosesnya terbuka, disepakati, bahkan dibicarakan publik berbulan-bulan sebelum resmi dideklarasikan. Dan setelah itu, pasangan Prabowo–Gibran diuji di arena paling demokratis: pemilihan presiden dan wakil presiden. Rakyat memilih. Rakyat memutuskan. Dan mereka menang.

‎Tapi kemenangan rupanya tak cukup bagi segelintir elite yang terlalu lama terbiasa menjadi pemenang. Mereka mendadak tersinggung oleh sistem yang selama ini mereka puja. Mereka bicara moral, tapi yang mereka pertontonkan adalah ketidakmampuan menerima kekalahan. Mereka bicara etika, tapi nyatanya hanya sedang mencari celah hukum untuk membatalkan kehendak rakyat.

‎Lucu rasanya, mereka yang gemar membanggakan sejarah panjang demokrasi hari ini ingin menganulir hasil pemilu hanya karena pasangan yang menang tak berasal dari klub eksklusif politik mereka. Lebih lucu lagi, mereka menyebut Gibran tak sah karena masih muda dan anak presiden, padahal sebagian dari mereka sendiri adalah produk dari dinasti politik tua yang diwariskan seperti sertifikat tanah: turun-temurun.

‎Mereka menuduh Gibran naik lewat jalan pintas. Padahal jalan pintas siapa? Anak muda ini justru menempuh jalan paling rumit: bersaing dengan para senior, dituding tanpa ampun, dihujat karena nama keluarganya, dan tetap melangkah. Mereka yang duduk di ruang konspiratif berpikir Gibran hanya numpang nama—mereka yang turun ke lapangan tahu, ia bekerja keras untuk menang.

‎Dan izinkan saya bertanya: apakah menjadi wakil presiden bukan bagian dari kehendak rakyat? Apakah mereka pikir 96 juta suara itu hanya jatuh dari langit? Jangan rendahkan rakyat hanya karena Anda tak disukai mereka.

‎Mereka ingin Gibran dimakzulkan. Dengan alasan apa? Karena ia menang terlalu cepat? Karena ia tidak lahir dari partai yang mereka kontrol? Karena ia tak membungkuk pada senioritas yang sekarat? Kalau itu alasannya, kita sedang disuruh tunduk pada feodalisme berkedok demokrasi.

‎Gibran bisa dikritik, tentu. Ia harus diawasi. Tapi menjatuhkannya tanpa dasar hukum adalah penghinaan terhadap konstitusi dan bentuk kekanak-kanakan paling memalukan dari mereka yang dulu mengklaim diri sebagai pejuang reformasi. Hari ini mereka lebih mirip sisa-sisa rezim lampau: takut pada kemunculan generasi baru karena kursi mereka mulai diguncang oleh suara yang bukan berasal dari ruang makan keluarga politik lama.

‎Saya berdiri membela Gibran bukan karena fanatisme. Saya berdiri karena saya tahu ia terpilih melalui proses yang benar, melalui keputusan politik yang matang, dan melalui pemilu yang sah. Saya berdiri karena saya menyaksikan langsung rakyat meneriakkan namanya, bukan karena mereka diperintah, tapi karena mereka berharap.

‎Mereka boleh menggugat, mereka boleh ribut. Tapi suara rakyat yang memilih Gibran tak bisa dipalsukan, apalagi dimakzulkan.

‎Jadi biarlah para pecundang itu terus menggugat dengan sorak bising dan tafsir hukum yang mereka pilin-pilin seperti benang kusut. Sejarah tidak mencatat mereka yang paling keras bersuara. Sejarah mencatat mereka yang paling ikhlas bekerja.

‎Dan Gibran sudah bekerja—jauh sebelum mereka sadar bahwa mereka sudah kalah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *